Beritasaja.com, Jakarta - Rentetan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan terungkap dua kali dalam sebulan di dunia medis.
Keduanya dilakukan oleh dokter kepada pasiennya pada bulan April 2025.
Pertama, kekerasan seksual terhadap keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung.
Seorang residen anestesi di RSHS Bandung, berinisilai PAP, ditetapkan sebagai tersangka pemerkosaan.
Baca Juga
- Polda Metro Jelaskan Alasan Belum Adanya Tersangka dalam Kasus Dugaan Pelecehan Eks Rektor UP
- Pria Bau Wilayah Tega Merudapaksa Anak Kandungnya, Padahal Masih SD
- Dua Menteri Soroti Kasus Dugaan Kekerasan Seksual yang Seret Eks Rektor Universitas Pancasila
Statusnya tak main-main, Ia merupakan peserta Program Akademik Dokter Spesialis (PPDS) Fakultas Kedokteran pada suatu Perguruan Tinggi Negeri dan terdaftar sebagai anggota IDI wilayah Bandung.
Modusnya, pelaku memasukkan obat bius saat proses transfusi darah, lalu memperkosa korban dalam kondisi tidak sadar.
Advertisement
Kedua, seorang dokter kebidanan dan kandungan berinisial SF di Garut melakukan pelecehan seksual terhadap pasiennya yang tengah hamil.
Aksinya terekam oleh CCTV, kemudian viral di media sosial.
Modusnya, dokter tersebut menawarkan layanan USG gratis melalui kontak pribadi pasien, tanpa melalui proses administrasi klinik.
Pemeriksaan pun dilakukan tanpa didampingi tenaga kesehatan mental lainnya.
Dua kasus ini membuat publik terkejut dan geram.
Pasalnya, profesi dokter yang selama ini dianggap terhormat dan dekat dengan empati kemanusiaan, ternyata justru menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan.
Apalagi lokus kejadian dilakukan di tempat praktiknya, yaitu rumah sakit dan klinik kesehatan mental.
Peristiwa ini juga mengingatkan kita bahwa kekerasan berbasis gender (Gender-Based Violance) bukanlah sesuatu yang jauh dan tak mungkin terjadi di sekitar kita.
Sebaliknya, praktik imoralitas ini malah kerap terjadi di ruang-ruang publik yang selama ini dianggap aman.
Dalam pengertian umum, kekerasan berbasis gender adalah kekerasan yang ditujukan terhadap orang lain karena jenis kelamin/gender orang tersebut.
Kekerasan berbasis gender dapat mencakup kekerasan seksual, jasa, mental, dan keuangan yang dilakukan di depan umum atau secara pribadi.
Kekerasan ini dapat terjadi dalam berbagai bentuk, seperti kekerasan terhadap pasangan, kekerasan seksual, pernikahan dini, mutilasi alat kelamin perempuan, dan apa yang disebut sebagai ‘kejahatan demi kehormatan’ (UN Women, 1979)
Meski secara konseptual, kekerasan berbasis gender bisa terjadi pada siapa saja dan dimana saja, tetapi dalam kenyataannya perempuan yang paling banyak menjadi korban.
Hal itu berdasarkan data statistik, dimana 1:4 perempuan merupakan korban Intimate Partner Violance (IPV), jumlah tersebut jauh lebih besar dibanding korban pria sebanyak 1:9 (Kallerman, 1992).
Oleh karena itu, dua kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh dokter di atas hanyalah bongkahan kecil dari gunung es kekerasan berbasis gender yang terekspos media.
Banyak kasus lain di Indonesia yang mungkin hilang atau didiamkan karena berbagai alasan.