Beritasaja.com, Jakarta - Pengamat pemerintahan dari The Prakarsa, Ah Maftuchan angkat suara soal Pilgub Kaltim 2024.
Melihat situasi yang ada saat ini, dia berharap tidak ada calon tunggal atau melawan kotak kosong.
Dia pun mengajak seluruh pihak untuk mengantisipasi munculnya prospek tersebut.
“Semua pihak terkhusus kalangan cendikia dan kelompok masyarakat sipil dapat mencegah hal itu terjadi," kata Maftuchan saat menjadi narasumber dalam rilis survei Pilgub Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) yang mengusung tema Cagub Ideal untuk Provinsi Kaltim di IKN yang berlangsung di Jakarta, Senin (12/8/2024).
Baca Juga
- Survei Pilgub Sumsel: Elektabilitas Herman Deru-Cik Ujang 42,1%, Heri Amalindo-Popo Ali 29,8%
- Jokowi Wanti-wanti Kepala Daerah soal Keamanan nasional Jelang Pilkada Serentak 2024
- Pengamat Nilai Dukungan untuk Bakal Cabup Majalengka Eman Suherman Makin Kuat di Pilkada 2024
Maftuchan melihat, klan tata negara Mas'ud sudah ditempatkan di posisi-posisi strategis dalam pucuk kekuasan perpolitikan di Kalimantan Timur (Kaltim).
Menurut dia, klan politik praktis Mas’ud dikenal juga sebagai pionir besar.
Advertisement
“Maka hampir dapat dipastikan konstruksi dinasti oligarki di Kaltim akan semakin kuat kalau yang kontestan di Pilkada Kaltim ini hanya ada calon tunggal,” jelas dia.
Ia melanjutkan, masyarakat pemilih sebenarnya punya harapan dan kemauan untuk menguatkan kualitas demokrasi politik strategis di Indonesia.
Hanya saja, yang menurunkan kualitas demokrasi di Indonesia biasanya bersumber dari elit tata negara itu sendiri.
“Ya sebut saja praktik politik dalam negeri dinasti yang berpotensi menutup semua peluang dan kemungkinan yang lain untuk turut berkontestasi," sambung dia.
Sementara itu, Direktur Tata negara Hankam BRIN, Muhammad Nurhasim menjelaskan persoalan dinasti tata negara ini bisa tumbuh subur akibat memudarnya peran atau partisipasi masyarakat sipil.
"Ya suka atau tidak, kita harus mengakui bahwa peran kelompok masyarakat sipil untuk mencegah praktik dinasti politik praktis ini dibendung atau setidak-tidaknya dibatasi, semakin berkurang setidaknya selama satu dekade terakhir,” tutur dia.
“Nah, untuk mencegah hal itu sebenarnya dapat dipenetrasi melalui regulasi tata negara di parlemen.
Meski hal itu memerlukan proses, tetapi langkah itu harus dilakukan," imbuhnya menandasi.