Beritasaja.com, Jakarta Presiden terpilih Prabowo Subianto, melalui Sekretaris Jenderal (Sekjen) Gerindra Ahmad Muzani mengumumkan bahwa pemerintahannya akan diisi oleh kabinet yang mengusung prinsip zaken kabinet, sebuah konsep yang menekankan pada pemilihan teknokrat dan profesional daripada politisi.
Keputusan ini memicu perbincangan luas tentang dampaknya terhadap struktur pemerintahan dan efektivitas administrasi tanah air.
Untuk memahami implikasi dari keputusan ini, penting untuk terlebih dahulu memahami apa yang dimaksud dengan zaken kabinet.
Merujuk pada makalah berjudul "Menapaki Jalan Konstitusional Menuju Zaken Kabinet: Ikhtiar Mewujudkan Pemerintah Berkualitas Konstitusi" dalam Jurnal Hukum yang ditulis oleh Novendri M.
Nggilu dan Fence M.
Wantu, Zaken Kabinet merupakan kabinet ahli yang dimaknai sebagai kabinet yang diisi oleh profesional dan ahli pada urusan yang dibidangi.
Advertisement
Dalam makalah itu dijelaskan, Kabinet Natsir merupakan salah satu kabinet yang dikenal sebagai kabinet zaken karena posisi-posisi menterinya diisi oleh para profesional dan ahli di bidangnya.
Contohnya, Sjafruddin Prawiranegara yang merupakan seorang ahli ekonomi lokal dan keuangan terkemuka menjabat sebagai Menteri Keuangan, sementara Soemitro Djojohadikusumo, juga seorang ahli di bidangnya, diangkat sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian.
Kabinet ini dianggap sukses karena berhasil meningkatkan devisa tanah air.
Hal ini dipicu oleh Perang Korea, yang membuat barang-barang ekspor Indonesia diterima dengan baik di pasar internasional.
Sebagai hasilnya, pemerintah dapat lebih efektif mengendalikan inflasi dengan menerapkan sistem impor yang lebih liberal dan melakukan berbagai perbaikan substansial untuk kondisi ekonomi lokal tanah air secara keseluruhan.
Meskipun kabinet Natsir hanya berlangsung selama delapan bulan (6 September 1950 hingga 27 April 1951), Herbert Feith, Profesor di Monash University, menilai kabinet ini telah berusaha keras mencapai tujuan politiknya dengan hasil penting dalam keamanan data, administrasi, produksi, dan pengembangan ekonomi lokal yang terencana.
Selain kabinet Natsir, kabinet Wilopo juga dikenal sebagai kabinet zaken.
Kabinet Wilopo, yang beroperasi dari 3 April 1952 hingga 30 Juli 1953, juga terdiri dari para ahli dan profesional.
Misalnya, Djuanda yang menjabat sebagai Menteri Perhubungan dan Bahder Djohan sebagai Menteri Pendidikan non-formal dan Kebudayaan, keduanya merupakan menteri non-partisan.
Kabinet ini berfokus pada lima program utama: melaksanakan pemilihan umum, meningkatkan kemakmuran rakyat, menciptakan keamanan data dalam negeri, memperjuangkan Irian Barat, dan menerapkan politik strategis luar negeri bebas aktif.
Namun, kabinet tidak mampu bertahan di tengah krisis stabilitas pemerintahan, keamanan data, dan politik strategis, yang akhirnya menyebabkan runtuhnya kabinet tersebut.