Beritasaja.com, Jakarta Setiap tanggal 27 September diperingati sebagai Hari Bhakti Postel.
Sebuah hari yang menandai pengabdian dan kontribusi sektor Pos dan Telekomunikasi dalam membangun konektivitas dan interaksi di seluruh wilayah Bangsa Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Di balik penetapan Hari Bhakti Postel, terdapat sejarah perjuangan Angkatan Muda Pos Telegraf Telepon (AMPTT) dalam merebut Jawatan Pos Telegraf Telepon dari tangan Jepang. 79 tahun lalu atau tepatnya tanggal 27 September 1945, suasana Jalan Cilaki No.73 Bandung tak seperti biasanya.
Daerah yang penuh pepohonan dan berhawa dingin itu tengah mencekam.
Di jalan ini berdiri kantor Post Telegrapf end Telefoon Dienst.
Warga Kota Kembang mengenalnya sebagai Jawatan PTT.
Baca Juga
- Kolaborasi APJII dan APJATEL, Meriahkan Hari Bakti Postel ke-79 dengan Turnamen Golf
Meski republik Indonesia sudah merdeka sebulan sebelumnya, jawatan PTT di kota berjuluk Paris van Java itu masih dikuasai Jepang.
Menyerah kepada sekutu dalam Perang Dunia II, Jepang yang kala itu menjajah dataran Nusantara belum sepenuhnya menyerahkan kekuasaan kepada Indonesia.
Advertisement
Kegentingan sudah terasa sejak awal September 1945.
Berawal saat Angkatan Muda Pos Telegraf Telepon (AMPTT) menggelar pertemuan pada 3 September 1945.
Mereka yang hadir di antaranya Soetoko, Slamet Soemari, Joesoef, Agoes Salman, Nawawi Alif dan beberapa pemuda lainnya.
Tekadnya hanya satu.
Kantor Pusat PTT harus dikuasai paling lambat akhir bulan.
Upaya yang tentu saja tak mudah.
Komandan Pasukan Jepang enggan menyerahkan kekuasaan di Kantor PTT.
Hanya bisa diserahkan kepada Indonesia oleh sekutu.
Tak patah semangat, juru runding dibentuk.
Soetoko, Ismojo dan Slamet Soemari, sepakat meminta Mas Soeharto dan R.
Dijar pada 23 September 1945.
Tugasnya mendesak Jepang menyerahkan kekuasaan PTT atau AMPTT dan rakyat siap unjuk kekuatan.
Keduanya menunaikan tugas keesokan harinya.
Mereka menemui pimpinan PTT Jepang, Tuan Osada tanpa perlu menunggu instruksi Jakarta. Namun perundingan pada 24 September 1945 itu tak semulus yang direncanakan.
Jepang hanya mengizinkan mengibarkan bendera Indonesia.
Sang Saka Merah Putih berkibar di halaman belakang gedung di Jalan Cilaki.
Tempat ini sekarang dikenal sebagai tugu PTT.
Tak patah arang, AMPTT mencari akal.
Kali ini disiapkan Soetoko.
Komandan Cusin Tai, Soewarni dan Nawawi Alif dipanggil pada 26 September 1945.
Keduanya mendapat tugas memimpin pekerjaan meruntuhkan tanggul dan mengelilingi kantor untuk merebut PTT pada 27 September 1945.
Rencana yang disetujui Mas Soeharto pada sore harinya.
Malam itu juga segenap anggota AMPTT disebar mencari dan mengumpulkan senjata tajam, kendaraan bermotor, senjata api dan kebutuhan lainnya.
Siasat dan taktik disusun.
Kalangan tua, muda dan semua organisasi perjuangan telah siap angkat senjata.
Rencana berjalan mulus.
Kantor PTT berhasil dikuasai setelah massa yang sudah berkumpul di halaman selatan.
Jepang bertekuk lutut.
Tak bisa berbuat apa-apa selain sukarela menyerahkan senjatanya.
Setelah itu Soetoko segera membawa Mas Soeharto dan R.
Dijar ke depan massa.
Didepan massa, kira-kira pukul 11.00, Soetoko membacakan teks yang isinya sebagai berikut :
Atas nama pegawai PTT
dengan ini, dengan disaksikan oleh masyarakat Yang berkumpul di halaman PTT jam 11.00 tanggal 27 September 1945,
Kami mengangkat Bapak Mas Soeharto dan Bapak R.
Dijar, Masing-masing menjadi Kepala dan Wakil Kepala Jawatan PTT seluruh Indonesia
Atas Nama AMPTT
Tertanda : SOETOKO
Di saat bersamaan, bendera Merah Putih berkibar di tiang listrik kantor PTT. Lagu Kebangsaan Indonesia Raya segera bergema di kantor itu.
Perjuangan menguasai gedung Jawatan PTT belum sepenuhnya usai.
Gedung Kantor Pusat PTT siang malam dijaga para pemuda.
Keesokannya harinya bekas pimpinan Jepang yang hendak bekerja tidak bisa lagi berbuat banyak.
Mereka disuruh tinggal di rumah.
Di bangunan yang sudah telah ditempeli tulisan: Milik Republik Indonesia.