Beritasaja.com, Jakarta Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) mempublikasikan laporan keuangannya tahun 2023.
Salah satu catatan disorot adalah soal defisit sebesar Rp317,36 miliar yang belum dipahami penjelasannya secara utuh.
Baca Juga
- Kemenag Janji Penyelenggaraan Haji Tahun Depan Lebih Ramah Disabilitas
- Bagaimana Cara Tahallulnya Orang Botak Plontos saat Umrah atau Haji?
- KPK Diharapkan Bisa Dampingi Pansus DPR RI Dalami Persoalan Haji 2024
Menurut Amri Yusuf selaku Badan Pelaksana BPKH Bidang Keuangan mengatakan, membaca soal defisit tersebut harus dimulai sejak saat pandemi covid-19.
Advertisement
Kala itu, BPKH justru mencatatkan surplus aset netto dari akumulasi nilai manfaat yang tidak digunakan akibat pembatalan ibadah haji selama dua tahun.
“Rasio-rasio keuangan utama seperti likuiditas, solvabilitas, dan profitabilitas masih cukup solid dan stabil serta berada di atas standar yang ditetapkan.
Hal ini menunjukkan bahwa dana haji tetap dikelola dengan baik,” kata Amri kepada media di Jakarta, seperti dikutip dari siaran pers, Jumat (2/8/2024).
Amri memastikan, rasio likuiditas wajib BPKH berada pada level dua kali lipat dari biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) sebagaimana yang digariskan undang-undang.
Hal itu menunjukkan, kemampuan BPKH untuk memenuhi kewajiban jangka pendek.
“Dengan rasio solvabilitas di atas 100%, BPKH tetap solid dan mampu mengatasi tantangan masa depan.
Rasio YOI rata-rata 6,71% dan menjaga efisiensi dengan CIR 3,32% atau di bawah 5%,” jelas Amri.
Maka dari itu, lanjut Amri, defisit 2023 merupakan dampak kebijakan yang bertujuan meringankan beban jemaah, terutama jemaah lunas tunda Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (Bipih) yang dinamis dalam beberapa tahun terakhir akibat pandemi Covid-19.
“Sumber pembiayaan untuk jemaah lunas tunda diambil dari aset neto berupa akumulasi Nilai Manfaat yang tidak digunakan pada musim haji 2020 dan 2021.
Serta tahun 2022 yang kuota keberangkatan jemaahnya hanya sebesar 50%.
Dengan kata lain, defisit yang dialami bukan karena pengelolaan keuangan yang kurang baik tetapi efek dari keputusan pemerintah dan DPR untuk mendukung jemaah lunas tunda 2020 dan 2022, yang secara akuntansi dicatatkan sebagai beban tahun berjalan 2023,” ungkap Amri.