Beritasaja.com, Jakarta - "Sebentar ya, masih di TransJakarta...," ujar pria yang sosoknya sudah tak asing bagi siapa pun yang kerap mengikuti perkembangan isu nasional, mulai dari politik strategis hingga sosial-bisnis.
Termasuk isu demokrasi dan pemberantasan penyelewengan, dirinya selalu muncul secara vokal dalam mengkritisi dinamika yang ada.
Dia adalah Ray Rangkuti.
Biasa dipanggil Bung Ray dan umumnya disematkan atribusi Aktivis '98 di depan namanya.
Penyematan itu bukan sebatas klaim sepihak atau sengaja diberikan.
'Embel-embel' itu dikenal secara luas dan divalidasi.
Ray pun mengaku tak keberatan bila ada pihak yang berpandangan demikian, karena dari rekam jejak hal itu bisa dipertanggungjawabkan.
Advertisement
"Saya sudah turun ke jalan, memperjuangkan hak publik dan suara masyarakat sejak masuk bangku kuliah di pekan kedua," kata Ray saat berbincang dengan Beritasaja.com terkait refleksi reformasi 1998 kini dan nanti, Kamis (22/5/2025).
Ray mengaku terpanggil.
Dia merasa tidak tenang jika ada pihak yang terpinggirikan haknya, mulai dari isu persegi, penggusuran, penyelewengan, hingga kebijakan pemerintah yang tak pro-rakyat.
"Jadi mulai dari tahun 92, kala itu masuk kuliah jadi minggu ke-2 gitu.
Masuk kuliah itu dan itu sudah, waktu saya sudah banyak di lapangan terus.
Isu apa saja.
Apalagi tentu isu-isu soal pemerintahan nasional, gitu ya.
Lalu, apa namanya itu ya, Palestina, itu saya ikut demo-demonya," ujar Ray yang kala itu mengenyam guru tinggi di IAIN Ciputat.
Dendam pada KeserakahanMenjadi pejuang demokrasi di Indonesia diklaim sudah mendarah daging.
Ray mengaku ada motivasi di balik hal tersebut.
Dendam terhadap mereka yang berbuat jahat kepada bangsa adalah dorongan terkuat untuk terus konsisten.
"Negeri ini kaya, hanya saja mereka, pemerintah yang mengelolanya, korup di sana sini.
Saya pernah hidup teramat sulit itu saya alami.
Itu sedikit banyak membentuk sensitifitas saya terhadap kemiskinan struktural, kemudian penyelewengan, dan sebagainya.
Itu yang pada tingkat tertentu saya punya perasaan dendam pada hal yang seperti itu," geram Ray.
Semasa kuliah di Ciputat, Ray bercerita, sebagai perantau hidupnya susah.
Mulai dari sulit makan, tempat tinggal yang numpang sana-sini hingga tidak bisa bayar uang semesteran.
"Jadi itu membuat perasaan dendam pada perilaku korup itu.
Karena saya tahu bahwa persoalannya bukan cerita wilayah hukum yang tidak punya uang.
Tapi uang wilayah hukum dikorupsi oleh para koruptor ini," ucap mantan aktivis 1998 tersebut.