Beritasaja.com, Jakarta - Di masa lalu, Sungai Ciliwung menopang kehidupan kota.
Aliran airnya jadi sumber air bersih, jalur kendaraan, bahkan tulang punggung sistem kanal kolonial yang menopang kota Batavia.
Namun kini, fungsi sungai perlahan terkikis oleh pembangunan yang kerap melupakan warisan ekologisnya.
Sejarawan Candrian Attahiyyat, menuturkan pada masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), Ciliwung memiliki posisi vital dalam menopang kebutuhan air masyarakat.
Baca Juga
- Akting Sentral Ciliwung Kendalikan Banjir Jakarta
- Kehidupan Warga Bantaran di Tengah Rencana Proyek Normalisasi Sungai Ciliwung
- Mayat Wanita Tanpa Identitas Ditemukan di Tepi Sungai Ciliwung, Polisi Selidiki
"Aliran itu kan diolah jadi siap dikonsumsi atau buat keperluan rumah tangga dan lain-lain.
Itu alirannya diarahkan ke daerah yang namanya Pancaran-Glodok.
Di situ airnya disuling," kata dia kepada Beritasaja.com, Jumat (16/5/2025).
Advertisement
Dia menerangkan, air hasil penyulingan itu dijual untuk memasok kebutuhan kapal-kapal yang bersandar di perairan Batavia.
"Terus airnya itu dikelola dan dijual buat keperluan kapal, perahu dan lain-lain.
Jadi, rekayasa pada saat itu semacam penyaluran air untuk kebutuhan hidup gitu.
Tapi begitu rekayasa berkembang, adanya sumur dan artesis, mereka beralih ke artesis.
Tapi artesis itu udah abad 19, bukan VOC lagi," ucap dia.
Dia menerangkan, letak geografis Batavia yang berdekatan dengan muara Ciliwung juga menjadi alasan utama Belanda membangun pusat kekuasaannya di wilayah itu.
Walau kapal besar tidak bisa bersandar langsung ke pantai karena dangkalnya Teluk Jakarta, pemerintah kolonial memanfaatkan aliran Ciliwung untuk menghubungkan pelabuhan dengan pusat kota melalui perahu-perahu kecil.
"Jadi mereka membuat aliran itu terutama Ciliwung yang di daerah Batavia itu buat kendaraan mereka untuk bawa-bawa barang atau bongkar muat," ucap dia.
Dalam perancangannya, Belanda membangun sistem kanal di kota Batavia dengan suplai utama berasal dari Sungai Ciliwung dan Cisadane.
Kedua sungai itu menyuplai air ke kanal-kanal dalam kota.
Fungsi kanal saat itu bukan hanya untuk lalu lintas perahu kecil, melainkan juga sebagai penyalur air bersih dan pengendali banjir.
"Soalnya kan kanal Batavia itu kalau kering kan gak cukup debit airnya itu surut," ujar dia.
Sementara itu, sejak awal abad ke-20, pemerintah kolonial sudah mulai mengembangkan sistem pintu air dan kanal-kanal baru untuk mengendalikan banjir.
"Pertama pada awal abad 20 ya Itu dibuatlah pintu air dan bagaimana mengelola air itu supaya tidak dibikin ketinggian sehingga dibagi dua.
Kedua dibuat kanal-kanal baru misalnya di kanal barat dari Manggarai ada yang kiri ada yang kanan.
Itu diatur dengan pintu air, tahun 1919-lah karena sudah terasa ke bawah banjir itu sudah menghantui kota ini," ucap dia.
Namun, seiring perkembangan zaman, wajah Ciliwung berubah.
Kanal dan turap kayu peninggalan kolonial digantikan beton.
Rumah-rumah berdiri memadati bantaran, bahkan menjangkau hingga menutup aliran.
Dari tempat kehidupan, sungai berubah menjadi tempat pelimbahan.
"Tanggul yang digunakan sepanjang dari mulai Ciliwung, yang dari Istiqal sampai ke kota tua, itu istilah turap itu bukan dari beton, tapi dari kayu sampai sekarang terlihat kayu-kayu itu masih nancap di daerah sekitar sepanjang Gajah Mada Hayam Wuruk," ucap dia.